Aaah akhirnya update blog juga setelah beberapa kali nulis draft dan berujung tidak mempostingnya karena masih belum pede sama tulisan sendiri (efek terlalu lama nggak bikin tulisan 😩). Udah bela-belain ganti jadi domain, masa mau dianggurin aja blognya, kan sayang. Sebenernya ganti domain biar ada rasa tanggung jawab dan lebih konsisten nulis juga sih hehehehe... Okay dikit aja basa-basinya, lanjeeuut...
Kali ini mau sharing seputar apa yang aku dapatkan di awal bulan Februari lalu. Jadi ceritanya, aku ikutan kelas WAG (Whatsapp Group) yang diadakan oleh salah satu komunitas parenting yang berkolaborasi bersama Mindbytee bertema "Mengasah EQ Dengan Minfulness Sejak Usia Dini". Topik ini dibawakan langsung oleh Founder Mindbytee sendiri, Tita Ardianti.
Sebagai orang tua tentu kita mendambakan anak kita memiliki IQ dan EQ yang baik. Namun, tidak sedikit yang menemukan kesulitan untuk mengajarkan EQ pada anak sejak kecil. Sebelum belajar tentang konsep conscious parent atau orang tua yang berkesadaran, ada baiknya jika kita bertanya pada diri sendiri,
Apakah EQ kita sebagai orang tua sudah baik?
Apakah kita sudah bisa menjadi contoh untuk anak kita?
Jika jawaban atas dua pertanyaan tadi adalah belum, maka sebaiknya orang tua lebih dulu belajar bagaimana mengasah EQ diri sendiri. Karena ketika EQ orang tua sudah terasah dengan baik, secara tidak langsung mengajarkan EQ pada anak bisa lebih mudah memberikan dampak. Istilah sederhananya, dewasakan diri kita sebelum kita mendewasakan anak.
JADI, APA SIH EQ ITU?
EQ (Emotion Quantity) atau kecerdasan emosi adalah kemampuan manusia untuk mengenal emosinya. Mereka yang sudah mengenal EQ-nya, biasanya dapat mengukur besar kecil emosi tersebut, lalu setelah terukur baru bisa dikelola.
APA BEDANYA IQ DENGAN EQ?
IQ atau kecerdasan intelektual, berfokus pada kecerdasan akademis atau teknis. Orang dengan IQ tinggi belum tentu memiliki yang EQ tinggi. Tapi orang dengan EQ tinggi, bisa mengendalikan orang-orang ber-IQ tinggi, artinya dia memiliki keampuan lebih untuk mengontrol dirinya sendiri dan orang lain.
Banyak contoh bisa kita temukan di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja ketika kita melihat pemimpin yang kelola emosinya tidak baik, itu berarti ia memiliki EQ yang masih rendah, tapi bisa jadi memiliki IQ yang tinggi. Maka dari itu, pemimpin dengan EQ yang rendah biasanya sering menimbulkan konflik di dalam tim. Sama halnya jika para pemimpin di dalam rumah tangga (ayah atau ibu) tidak memiliki EQ yang tinggi, bisa dikaitkan dengan sering konflik yang muncul dalam rumah tangganya.
Dengan memiliki tingkat EQ yang baik, kita dapat mengendalikan kinerja kita dimanapun kita berada. Dan hal ini berarti kita turut menjaga kesehatan fisik dan mental diri kita sendiri. Karena menurut riset medis, sekitar 90% penyakit yang diderita manusia berasal dari kesehatan mental yang menurun 😲😲
Ketika kita pandai mengelola emosi, prosentase untuk terhindar dari penyakit yang disebabkan oleh ketidakstabilan mental/ emosi pun akan menurun. Beberapa contoh penyakit yang dipicu stres seperti asam lambung naik, cepat lelah, sakit kepala/migrain/vertigo, hipertensi, stroke dll.
LALU, BAGAIMANA CARA MENGASAH EQ DENGAN MINDFULNESS?
Seringkali kita terlalu tenggelam dalam rutinitas yang itu-itu saja. Layaknya memiliki pikiran tapi kita hidup seperti robot yang hanya menjalankan program. Tapi, apakah kita benar-benar hidup?
Rencana demi rencana tersusun dalam kepala kita, pikiran tentang masa depan seperti apa yang akan kita jalani, berandai-andai memiliki hidup layaknya orang lain yang nasibnya lebih baik dari kita, bahkan tak jarang kita juga me-recall kejadian masa lampau yang membuat kita menyesal atau emosi. Hayooo siapa yang masih sering kaya gitu, ngaku deh...
Untuk yang masih sering ngerasa kaya gitu, coba untuk fokus 1 menit saja. Biarkan tubuh merasa rileks sejenak dan berfokus pada inhale-exhale tanpa memikirkan hal-hal lainnya.
Jadi, mindfulness itu semacam rem agar kita memberi jeda pada otak, tubuh, pikiran dan jiwa yang telah bekerja dengan cepat. Dengan jeda mindfulness, kita jadi punya ruang untuk mengasah EQ, yaitu dengan cara mengenali emosi kita sehingga kita dapat mengukur besar kecilnya dan mengelolanya.
Jika kita berbicara soal hadiah terbaik untuk anak, apa sih yang terbersit di benak kalian? Pendidikan? Barang? Baju dan makanan yang layak? Mungkin banyak yang berpikir seperti itu ya. Namun, Mom Tita menjelaskan bahwa
hadiah terbaik dalam hidup yang bisa orang tua berikan pada anak-anak adalah kemampuan kita untuk hidup dinamis dengan segala perubahan.Untuk mencapai hidup yang dinamis, kita harus punya jeda dalam waktu kita supaya ketika ada hal baru datang, kita masih punya ruang untuk menghadapinya.
STRESS DAN PENYEBABNYA
Mengapa manusia bisa merasa stres?
Orang merasa stres biasanya dipicu oleh berbagai macam hal. Salah satunya karena kita tidak punya cukup ruang untuk menghadapi tantangan atau permasalahan yang baru. Seperti sebuah gelas yang jika diisi air terus menerus ia akan tumpah dan meluap, begitu juga manusia. Sama halnya dengan anak, mereka pun bisa mengasah EQ jika diperkenalkan dengan berbagai macam emosi yang ada. Mereka perlu diajarkan cara mengukur dan mengelola emosinya karena anak belum bisa mempelajarinya sendiri.
Contoh Kasus
Kenzo adalah seorang anak yang saat marah memiliki bebrerapa reaksi. Ketika marahnya berada di level biasa, ia hanya komplain dan tidak meninggalkan tempat. Jika marahnya di level sedang, ia akan teriak dan jika marahnya di level luar biasa, ia akan keluar dari ruangan lalu mencari tempat untuk mendinginkan emosinya seperti memandangi kolam ikan miliknya atau mencuci benda-benda miliknya.
Mungkin terlihat unik, tapi disini Kenzo sudah bisa mengenal, mengukur dan mengelola emosinya. Apa yang ia lakukan merupakan imitasi dari melihat bagaimana cara ibu & ayahnya marah, bereaksi dan mengelola emosi, serta bagaimana kedua orangtuanya di rumah mengatasi rasa emosi tersebut.
Sebagai orang tua, saat pulang ke rumah sebisa mungkin ambilah jeda sebentar seusai ada rasa kesal di kantor. Setelah melakukan breathing exercise dan bebas dari rasa emosi dari pekerjaan barulah berinteraksi dengan anak. Dengan breathing exercise, orang tua akan menjadi lebih tenang juga meminimalisir agar tidak melampiaskan amarah dan stres kepada anak. Bahkan misalnya anak tidak mau mandi, yang orang tua kesalkan adalah "ketidak bersihan" yang bisa membuat gampang sakit, kalau sakit jadi repot. Jadi orang tua harus menyadari kalau anak tidak mau mandi, ya bukan anaknya yang memancing emosi, tapi ego kita sebagai orang tua tentang kebersihan diri.
Jika sudah begitu, lakukan breathing exercise (lagi), komunikasikan dengan energi yang bersih, jelaskan baik-baik fungsi dan manfaat mandi itu apa, lalu beri mereka kemampuan untuk mengambil keputusan.
KESIMPULAN
Terlihat mudah tapi akan sulit jika kita tidak membiasakan anak untuk mengenal EQ sejak dini. Yang pasti, sebelum mengajari anak, ingatlah untuk selalu menyeselaikan masalah dalam diri sendiri dan lakukan breathing exercise jika keadaan kurang baik agar anak tidak menjadi pelampiasan. Perlu kesabaran ekstra supaya anak mampu menyerap dan memahami konsep pengelolaan EQ. Tetap semangat ya bun, karena ...
PARENTING ITU ADALAH SEBUAH PROSES, BUKAN TUJUAN